Monday, April 21, 2014

KODE ETIK MENJADI GURU

Menurut al-Imam al-Ghozali r'a dalam kitab
ihya_’ulu_middi_n I/55-58
Ketahuilah! Sebagaimana proses usaha (ingat kata
perusahaan!), dalam ngelmu (meng-ilmu-i diri) pun
manusia mengalami 4 (empat) tahapan :
Masa mencari maka ia berupaya sekuat tenaga.
Masa menabung yang telah diusahakannya maka ia
tak perlu meminta-minta lagi.
Masa membelanjakan untuk diri sendiri maka ia
menikmati hasilnya.
Masa menyantuni orang lain. Jadilah ia penderma
dan penyantun. Itulah kemuliaan tertinggi.
Demikianlah, ilmu pun bisa ditabung seperti harta.
Ada masa mencari, ada masa memetik hasilnya
sehingga tak perlu lagi bertanya kesana kemari,
ada masa merenung dan mengolah apa yang sudah
didapatkannya serta menikmatinya dan ada masa
mentransfer ilmu (mengajar). Itulah kemuliaan
tertinggi.
Orang yang sudah menggenggam satu ilmu serta
mengamalkannya lalu mengajarkan ia dapat gelar
manusia agung di kalangan penduduk langit.
Karena ia bagai matahari yang menerangi orang
lain dan ia sendiri terang benderang. Juga seperti
misik, mengharumkan dan ia pun harum.
Yang suka mengajar tapi tidak mengamalkan
ilmunya seperti buku; memengertikan yang lain ia
sendiri tak mengerti apa-apa. Atau seperti batu
asahan; meruncingkan yang lain ia sendiri tumpul
tak bisa memotong apa pun. Atau bagai jarum;
yang menjahit pakaian yang lain ia sendiri
telanjang. Atau seperti sumbu lampu; menerangi
orang lain ia sendiri terbakar.
Ada sebuah syair: Ia hanyalah sumbu lampu ~
menerangi yang lain lalu jadi abu.
Manakala seseorang berperan sebagai pengajar/
pendidik, ia menggenggam urusan yang besar dan
tugas yang berat. Maka pegang erat-erat kode-
kode etiknya:
1. Menyayangi murid dan bersikap seperti terhadap
anak kandung sendiri.
Rosululloh Saw pernah bersabda:
ﺇﻧﻤﺎ ﺃﻧﺎ ﻟﻜﻢ ﻣﺜﻞ ﺍﻟﻮﺍﻟﺪ ﻟﻮﻟﺪﻩ ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ ﻭﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ
ﻭﺍﺑﻦ ﺣﺒﺎﻥ
(Kasih sayang)-ku kepadamu (wahai ummatku!)
tiada lain sebagaimana (kasih sayang) seorang
ayah kepada anaknya.
Yakni, Rosululloh saw mendambakan bisa
menyelamatkan mereka (ummat) dari api akhirat.
Dan hal itu lebih penting dari pada dambaan orang
tua bisa menyelamatkan anaknya dari api dunia.
Sedemikian rupa sehingga hak guru bisa lebih besar
dari pada hak orang tuanya sendiri.
Karena orang tua penyebab kelahirannya dan
penyelamat kehidupan dunia yang fana. Sedangkan
guru itu penyebab kebahagiaan di keabadian
akhirat. Andai tiada guru tentu apa yang telah
diusahakan orang tua akan menjadi kesengsaraan
abadi. Guru yang dimaksud ialah guru ilmu ukhrowi
atau ilmu duniawi yang diniatkan untuk
(kebahagiaan) ukhrowi bukan yang semata-mata
duniawi.
Adapun mengajar yang diniatkan hanya duniawi
itulah bencana dan sumber bencana! Na’udzu
billaah min dzalik!
Sebagaimana keharusan anak-anak seorang ayah
saling menyayangi dan saling bantu demi
menggapai segala tujuan (yang baik) begitu pula
keharusan murid-murid seorang guru saling
menyayangi dan saling mendukung satu sama lain.
Dan tak ‘kan terjadi hal itu kecuali jika tujuan
mereka kebahagian akhirat. Sebaliknya akan terjadi
saling mendengki dan saling membenci bila tujuan
belajar mereka keduniaan semata.
Sesungguhnya para ulama serta peminat akhirat
adalah pejalan-pejalan keridoan Alloh swt dan para
penempuh perjalanan dari dunia ini. Tahun-tahun
dan bulan-bulan adalah rute-rutenya. Saling bantu
dalam perjalanan menuju kota-kota tujuan yang
sama diantara para penumpang jadi penyebab
adanya rasa kebersamaan dan saling menyayangi.
Apa lagi dalam perjalanan dan saling bantu menuju
keindahan Firdaus tertinggi. Karena tidak ada
keterbatasan kebahagiaan dan kesempitan di
(sorga) sana. Sedemikian rupa, sehingga tak ‘kan
pernah terjadi perebutan diantara para peminat
akhirat.
Adapun kebahagiaan dunia itu penuh keterbatasan.
Sedemikian rupa, sehingga tak henti-hentinya
peristiwa sikut-sikutan dalam keterbatasan lahan
dan jatah. Mereka yang menyimpang, dengan
orientasi jabatan dalam menuntut ilmunya telah
melanggar ketetapan firmanNya:
ﺇﻧﻤﺎ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻮﻥ ﺇﺧﻮﺓ ﺍﻟﺤﺠﺮﺍﺕ 10
Tiada lain orang-orang mukmin itu (harus saling
menyayangi sebagaimana antara) saudara-saudara
(satu ayah).
Dan masuk dalam ketetapan firmanNya:
ﺃﻷﺧﻼﺀ ﻳﻮﻣﺌﺬ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻟﺒﻌﺾ ﻋﺪﻭ ﺍﻻ ﺍﻟﻤﺘﻘﻴﻦ ﺍﻟﺰﺧﺮﻑ 67
Pada hari (kiamat) itu, para teman akan saling
bermusuhan kecuali orang-orang yang bertakwa.
2. Mengikuti sunnah (perilaku) Rosululloh saw.
Kapan dan dimanapun mengajar ia tak berharap
upah, tanpa pamrih balasan dan tanda terima kasih
dari murid. Ia mengajar semata-mata demi meraih
keridoan Alloh taala dan dekat denganNya. Ia tidak
merasa berjasa kepada murid meski murid wajib
selalu mengenang jasa guru. Bahkan si guru
merasa bahwa justru si muridlah yang telah berjasa
menyediakan hati dan pikirannya untuk sarana bagi
si guru bisa mendekatkan diri kepada Alloh ta’ala.
Seperti pemilik tanah yang meminjamkan tanahnya
untuk Anda tanami. Anda bisa mendapat hasil
lebih dibanding pemiliknya sendiri.
Bagaimana mungkin Anda merasa lebih berjasa
sedangkan pahala Anda –karena mengajar– lebih
besar dibanding pahala si murid di sisi Alloh ta’ala.
Andai tak ada murid Anda tak dapat pahala ini.
Maka carilah ‘upah’ hanya dari Alloh ta’ala.
Sebagaimana firmanNya:
ﻭﻳﺎ ﻗﻮﻡ ﻻ ﺃﺳﺄﻟﻜﻢ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﺎﻻ ﺇﻥ ﺃﺟﺮﻱ ﺇﻻ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻫﻮﺩ
29
Berkatalah Nuh as,” Wahai kaumku! Aku tak
meminta kepadamu harta sedikitpun atas
pengajaranku. Tiada lain ‘upah’ku dijamin Alloh
penuh ”.
Lagi pula, harta dan segala isi bumi ini khan
sarana tubuh. Badan adalah kendaraan dan
tunggangan jiwa. Yang dilayaninya adalah ilmu.
Dengan ilmulah jiwa jadi mulia. Orang yang
mencari ilmu demi harta ibarat yang menyeka
mukanya dengan alas sepatunya! Yang semestinya
dilayani malah jadi pelayan, pelayan justru dilayani.
Terjadilah penjungkir-balikan keadaan. Ironi.
Perumpamaan orang tersebut bak yang berjejer di
hari persidangan maha besar (kiamat) bersama
para pendosa sambil berjungkir di hadapan Tuhan
mereka.
Kesimpulannya keuntungan dan karunia adalah
milik guru.
Namun perhatikan! Bagaimana urusan agama bisa
sampai kepada peristiwa dimana orang
beranggapan bahwa tujuan mereka belajar dan
mengajar ilmu Fiqih dan ilmu Kalam adalah
mendekatkan diri kepada Alloh. Padahal mereka
korbankan harta bahkan harga diri juga melakukan
kehinaan-kehinaan untuk menjilat para penguasa
agar dapat jatah dan subsidi dari mereka. Jika
tidak begitu mereka tak dipedulikan dan tak ada
yang mau mendatangi mereka. Kemudian sang guru
itu berharap para muridnya melayani segala
keperluannya, mendukung orang dekatnya,
memusuhi yang dimusuhinya, sigap membantu
semua kebutuhannya serta mau serah bongkokan
di hadapannya. Dan jika si murid kurang peduli
kepadanya marahlah ia dan terus benci sebenci-
bencinya. Alangkah hina seorang yang berilmu
yang rela dengan derajat seperti itu bahkan
gembira dengan itu serta tidak malu-malunya
mengatakan, tujuan mengajarku adalah
menyebarkan ilmu demi mendekatkan diri kepada
Alloh dan membela agamaNya!
Perhatikan indikator-indikator agar Anda bisa
melacak kamuflase-kamuflase.
3. Memperhatikan murid sampai hal-hal yang kecil
sekalipun.
Sedemikian rupa, dengan mencegah si murid dari
menaiki satu tahapan sebelum saatnya, jangan
memasuki pendalaman ilmu sebelum menuntaskan
dasar-dasarnya. Kemudian ia ingatkan si murid
bahwa tujuan belajar itu mendekatkan diri kepada
Alloh bukan meraih jabatan, kemegahan dan
popularitas. Dan sang guru memulai dari dirinya
sendiri melakukan hal itu sekuat-kuatnya. Karena
orang berilmu yang pendosa lebih banyak
membawa keburukan dibanding kebaikan.
Jika sang guru tahu dari pandangan batinnya
bahwa tujuan belajar si murid itu duniawi semata,
perhatikan apa yang dipelajarinya. Jika ia adalah
ilmu khilafiyyah fikih, perdebatan ilmu Kalam
(Logika Metafisika) atau fatwa-fatwa
persengketaan dan peradilan, cegahlah! Karena ini
bukan ilmu ukhrowi dan bukan ilmu yang tentang
itu dikatakan, “Kami pelajari ‘ilmu’ bukan karna
Alloh namun ia (ilmu) enggan kecuali harus karena
Alloh”.
‘Ilmu’ tersebut adalah ilmu Tafsir, ilmu Hadits dan
apa yang ditekuni oleh para ulama pendahulu yakni
ilmu ukhrowi, pemahaman tentang akhlak mulia
dan proses pencapaiannya.
Jika si murid mempelajari ilmu-ilmu ini dengan
pamrih duniawi tak apa-apa dibiarkan dulu, karena
itu akan berbuah semangat untuk menasehati dan
menarik massa. Namun di tengah perjalanan atau
di ujungnya ia akan sadar dengan sendirinya.
Sebab di situ terdapat pengertian-pengertian yang
membuat ia takut kepada Alloh, yang membabat
cinta dunia, dan meningkatkan minat akan akhirat.
Dan itulah proses pendekatan kepada kebenaran
ukhrowi. Sedemikian rupa sehingga ia justru jadi
sadar karena penyadaran terhadap orang lain.
Semangat menarik simpati dan massa bisa
diumpamakan menebar biji-biji jagung di sekitar
perangkap agar burung mau datang dan
memakannya. Alloh juga membuat taktik dan
strategi terhadap hambaNya. Dia ciptakan berahi
agar kelangsungan hidup manusia bisa terwujud.
Dia ciptakan semangat menarik simpati supaya
dengan itu ilmu tetap hidup. Dan itu diharapkan
pada ilmu-ilmu ini.
Adapun menekuni ilmu khilafiyyah semata,
perdebatan ilmu Kalam dan detail-detail ilmu yang
asing (tak diketahui umum) dengan berpaling dari
ilmu yang lain hanyalah akan menambah
kekeringan hati, lupa kepada Alloh, tenggelam
dalam kesesatan serta mencari popularitas
semata. Kecuali orang yang Allah karuniakan
rahmat atau yang mau melengkapi dirinya dengan
ilmu yang agamis.
Dasar kebenaran hal demikian tak ada yang lebih
absah dibanding pembuktian dan kenyataan.
Perhatikan! Pelajari! Teliti! Agar Anda bisa
menyaksikan sendiri kenyataan itu pada
masyarakat dan lapangan kehidupan. Alloh jualah
yang patut dimohon pertolongan.
Pada satu kesempatan Imam Sufyan ats-Tsauri ra
terlihat murung, lalu ada yang bertanya, “Kenapa
Anda begitu murung?”. “Ah! Kucoba berharap
keuntungan dari anak-anak dunia (mengajar
mereka) lalu seseorang dari mereka tekun belajar
pada kami. Namun setelah dia berhasil, jadilah ia
hakim, pegawai atau bahkan penguasa ”, keluh
beliau.
4. Ini termasuk kiat-kiat mengajar; menasehati si
murid tentang keburukan akhlaknya dengan cara
kiasan.
Jangan pernah mengupas sejelas-sejelasnya
keburukan murid. Juga dengan penuh kasih sayang
bukan dengan caci maki. Karena mengupas itu
menelanjangi dan bisa berakibat kenekadan
menerjang larangan. Bisa juga membuat si murid
bilang, “Ah! sudah kepalang tanggung malu,
sekalian saja!”. Karena itu, Rosululloh saw sebagai
pengayom dan pendidik pernah bersabda:
ﻟﻮ ﻣﻨﻊ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻦ ﻓﺖ ﺍﻟﺒﻌﺮ ﻟﻔﺘﻮﻩ ﻭ ﻗﺎﻟﻮﺍ ﻣﺎ ﻧﻬﻴﻨﺎ ﺇﻻ
ﻭﻓﻴﻪ ﺷﻴﺊ
Kalau manusia dilarang mengais-ngais tinja, malah
mereka akan melakukan-nya seraya berucap, “Kita
tak ‘kan dilarang melakukan hal ini kecuali ada
sesuatu dibaliknya”
Untuk itu ingatan Anda bisa dibawa kepada
bagaimana kisah Nabi Adam as dan Ibu Hawa
serta apa yang terlarang bagi mereka. Kuingatkan
Anda kisah ini bukan semata-mata kisah, tapi agar
Anda mengambil pelajaran darinya.
Juga bahasa kiasan itu bisa menarik minat orang
yang berjiwa mulia dan berpikiran cerdas untuk
menggali makna-makna yang terkandung di
dalamnya. Itu akan membuat ia penasaran dan
gembira jika berhasil memahaminya dan ternyata ia
tidak terlalu bodoh untuk itu.
5. Pengajar salah satu bidang ilmu jangan sampai
menjelek-jelekkan bidang ilmu yang lain.
Kadang terjadi pengajar bahasa menjelek-jelekkan
ilmu hukum (Fiqih) misalnya. Pengajar ilmu Fiqih
menjelek-jelekkan ilmu Hadits atau ilmu Tafsir. Dia
bilang, “Apaan ilmu itu cuman sekedar menukil dan
merekam ulang!. Itu sih pekerjaan orang-orang
lemah. Tak pakai otak juga jadi!”.
Pengajar ilmu Kalam (Metafisika) kadang antipati
terhadap ilmu Fiqih. Katanya,“Itu (Fiqih) sekedar
furu’(cabang) dan bahasan tentang haid
perempuan! Dimana terletak kehebatannya
dibanding ilmu Kalam yang bahasannya adalah
ketuhanan!”. Ini perilaku buruk bagi pengajar.
Jauhilah!
Justru seharusnya pengajar satu bidang ilmu
meluaskan cakrawala si murid tentang ilmu-ilmu
yang lain. Jika ia mengajarkan pelbagai ilmu,
perhatikan tahapan ilmu demi ilmu dalam
mengembangkan ilmu muridnya.
6. Membatasi penjelasan sesuai kemampuan daya
nalar murid.
Jangan pernah menerangkan sesuatu yang tak bisa
dijangkau pikirannya. Hal itu bisa membuatnya
bersikap masa bodoh, putus asa atau bahkan
kacau pikiran.
Rosululloh saw yang kita wajib mencontohnya
pernah bersabda:
ﻧﺤﻦ ﻣﻌﺎﺷﺮ ﺍﻷﻧﺒﻴﺎﺀ ﺃﻣﺮﻧﺎ ﺃﻥ ﻧﻨﺰﻝ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻣﻨﺎﺯﻟﻬﻢ
ﻭﻧﻜﻠﻤﻬﻢ ﻋﻠﻰ ﻗﺪﺭ ﻋﻘﻮﻟﻬﻢ ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ ﻭ ﻏﻴﺮﻩ
Kami –Para Nabi– mendapat titah agar menyikapi
manusia sesuai tingkatannya dan berbicara kepada
mereka dengan apa yang bisa dimengerti mereka.
Namun jika si murid punya kemampuan nalar yang
unggul silahkan beri dia ilmu sampai ke tingkat
hakikat sekalipun. Sabdanya juga:
ﻣﺎ ﺃﺣﺪ ﻳﺤﺪﺙ ﻗﻮﻣﺎ ﺑﺤﺪﻳﺚ ﻻ ﺗﺒﻠﻐﻪ ﻋﻘﻮﻟﻬﻢ ﺇﻻ ﻛﺎﻥ ﻓﺘﻨﺔ
ﻋﻠﻰ ﺑﻌﻀﻬﻢ
Setiap ada ungkapan seseorang yang tidak
dimengerti pikiran masyarakat tentu dapat
menimbulkan masalah bagi sebagian kalangan.
Pada satu kesempatan Imam Ali ra berkata sambil
menunjuk dadanya: “Di sini terdapat ilmu-ilmu
yang begitu banyak. Andai ada yang bisa
mewadahinya!”. Benar sekali beliau ra, memang,
kepala-kepala orang alim bagai kelapa-kelapa yang
berisi saripati ilmu.
Tak selayaknya guru menyebarkan setiap yang ia
tahu kepada setiap orang. Itupun ilmu yang bisa
dimengerti si murid bagaimana lagi ilmu yang tak
bisa dimengertinya.
Nabi Isa as bersabda,” Jangan kalungkan permata
pada leher-leher babi!” Dan sungguh hikmah itu
lebih bernilai dibanding permata semahal apapun.
Orang yang tak suka ‘hikmah’ lebih busuk dari
pada babi. Oleh karenanya dikatakan, ukurlah
setiap orang dengan takaran dan timbangan daya
nalarnya dan daya pahamnya sehingga Anda
selamat darinya bahkan justru menerima
manfaatnya. Jika tidak, terjadilah pengingkaran
karena adanya perbbedaan ukuran-ukuran (daya
nalar dan daya pahamnya) tersebut.
Seorang Ulama diajukan satu pertanyaan tapi ia
tak mau menjawabnya. Lalu yang bertanya
memprotesnya, “Bukankah Tuan pernah mendengar
sabda Rosululloh saw”:
ﻣﻦ ﻛﺘﻢ ﻋﻠﻤﺎ ﻧﺎﻓﻌﺎ ﺟﺎﺀ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﻣﻠﺠﻤﺎ ﺑﻠﺠﺎﻡ ﻣﻦ ﻧﺎﺭ
ﺭﻭﺍﻩ ﺇﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ
“Siapa saja yang menyembunyikan ilmu yang
berguna pasti di hari kiamat ia datang dalam
kondisi terikat mulutnya dengan kendali api.”
Sang ulama itu menjawab, “Simpan dulu ‘kendali
api’itu!” Pergilah mencari orang yang bisa
mengerti. Jika ia telah datang lalu aku
menyembunyikan ilmu padanya, ikatkan kendali itu
padaku. Bukankah Alloh berfirman:
ﻭﻻ ﺗﺆﺗﻮﺍ ﺍﻟﺴﻔﻬﺎﺀ ﺃﻣﻮﺍﻟﻜﻢ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ 5
“Jangan kamu berikan harta-hartamu kepada
orang-orang ‘safih’ (yang tidak bisa mengelola
harta sesuai aturan Syara')
Ia memperingatkan bahwa menghindarkan ilmu
agar jangan sampai disia-siakan dan dirusak
adalah sesuatu yang penting. Menyerahkan ilmu
kepada yang bukan haknya tidak kurang dosanya
dibanding menyembunyikan ilmu kepada yang
berhak atasnya!
Haruskah kutebarkan permata kepada pengembala
kambing lalu
di kemudian hari penyesalan karna mereka pasti
kutemui
Mereka benar-benar belum juga tahu nilai.
Haruskah pula kukalungkan pada leher anak
kambing?
Jika Alloh yang Maha Lembut itu telah berkenan
lalu
kujumpai seseorang yang bisa bermesraan dengan
ilmu dan ‘hikmah’.
‘Kan kutaburkan ia.
‘Kan kumintai cintanya.
Jika tiada, tetap kupendam, terus kusimpan.
Meranalah ilmu yang berada di tangan orang
bodoh.
Lalimlah orang yang enggan mengajarkan kepada
yang berhak atasnya.
7. Untuk murid yang picik berikan penjelasan
sekedarnya.
Jangan terangkan padanya bahwa di balik
penjelasan ini ada kedalaman yang masih Anda
pendam. Hal itu akan membuat semangat
belajarnya kendor, menggelisahkan hatinya dan ia
curiga Anda kikir padanya. Karena setiap orang
punya anggapan bahwa ia bisa menguasai ilmu
sedalam apapun. Setiap manusia merasa bahwa ia
dikaruniai Alloh otak yang cerdas. Yang lebih
goblok dan lebih bego lagi orang yang merasa
dialah yang paling pintar!
Dengan demikian, jadi kesimpulan bahwa orang
awam yang pendiriannya mantap terikat tuntunan
syara’, teguh oleh akidah yang diwarisi salafus
solih tanpa mempersamakan (sifat Allah dengan
makhluk), tanpa penafsiran (konotasi dengan
denotasinya) serta berhati baik namun akalnya tak
mampu memahami lebih dari itu seyogyanya
jangan dikacaukan keyakinannya. Biarkan ia sibuk
dengan pekerjaannya.
Jika orang awam dijejali penafsiran-penafsiran
kata-kata konotatif bisa-bisa lepas akidah (yang
cukup buat ia sebagai orang awam) yang telah
terikat kuat itu. Dan jika terjadi hal itu, tak
gampang diikat lagi dengan pendalaman akidah
(yang hanya bisa dikuasai) orang ahli. Lalu jebollah
benteng yang menghalanginya dari maksiat dan
jadilah ia setan jahat pembinasa diri sendiri dan
orang lain.
Jadi, jangan pernah menjerumuskan orang awam
pada kedalaman hakikat-hakikat ilmu. Cukuplah
untuk mereka pendidikan ibadah, ajaran kejujuran
dalam pekerjaan yang sedang ditekuninya juga
penuhi hati mereka dengan kecintaan dan
perjuangan meraih sorga. Jangan pernah kerutkan
kening mereka dengan pertentangan akidah. Karena
itu bisa merasuk ke hati mereka dan sulit
diperbaiki. Dan, celaka serta binasalah mereka!
Kesimpulannya, jangan bukakan pintu pendalaman
pada orang awam. Itu bisa membuat mereka
meninggalkan pekerjaan mereka yang kesejahteraan
masyarakat dan penghidupan orang ahli ditopang
dengannya.
8. Sang Guru mengamalkan apa yang diketahuinya
Jangan pernah ucapannya didustakan
perbuatannya sendiri. Ilmu hanya bisa ditangkap
oleh pikiran. Perilaku dapat diindera oleh mata.
Dan pemilik mata jelas lebih banyak. Bila sikap
bertentangan dengan ucapan, maka kebenaran
(yang terucap) jadi impoten.
Seseorang yang suka mengkonsumsi satu jenis
makanan lalu ia berkata kepada orang-orang,
”Jangan kamu makan ini. Ini racun yang
mematikan!”, tentu mereka akan mengejeknya,
mencurigainya dan akan tambah penasaran akan
yang terlarang itu. Kata mereka, “Kalau itu bukan
makanan paling enak dan lezat, ia tak ‘kan makan
sendirian”.
Hubungan guru dengan murid ibarat cetakan
berukir dengan tanah liat (bahan gerabah) atau
batang kayu dengan bayangannya. Mana bisa
terbentuk ukiran pada tanah liat itu bila cetakannya
tak berukir. Mungkinkah bayangannya lurus tapi
batangnya bengkok?
Ada sebuah syair:
ﻻ ﺗﻨﻪ ﻋﻦ ﺧﻠﻖ ﻭﺗﺄﺗﻲ ﻣﺜﻠﻪ ﻋﺎﺭ ﻋﻠﻴﻚ ﺍﺫﺍ ﻓﻌﻠﺖ ﻋﻈﻴﻢ
Jangan Anda larang satu perbuatan ketika Anda
sedang melakukannya.
Malu besar jika Anda tetap bersikap begitu.
Alloh berfirman,
ﺃﺗﺄﻣﺮﻭﻥ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺑﺎﻟﺒﺮ ﻭ ﺗﻨﺴﻮﻥ ﺃﻧﻔﺴﻜﻢ … ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ
Pantaskah kamu suruh orang-orang berbuat
kebaikan sedangkan kamu lupa terhadap dirimu
(untuk melakukannya juga)…
Sedemikian rupa, sehingga dosa kemaksiatan yang
berilmu lebih besar dibanding kemaksiatan yang
sama dari orang bodoh. Karena dengan salahnya
seorang alim akan banyak orang ikut-ikutan
berbuat kesalahan. Siapa yang jadi perintis
keburukan ia akan mendapat balasan perbuatannya
sendiri dan balasan perbuatan orang yang
melakukan keburukan itu.
Imam ‘Ali r'a pernah berkata, ”Ada dua orang yang
meremukkan punggungku. Pertama, orang alim
yang suka bermaksiat. Kedua, orang bodoh yang
rajin beribadat. Orang bodoh bisa memperdaya
orang-orang dengan kerajinan ibadatnya. Orang
alim menjerumuskan mereka karena
kemaksiatannya. Wallohu a’lam!
Jalaluddin Sayuthi, Cimahi 2004

No comments:

Post a Comment

Melagkah pasti