Wednesday, September 3, 2014

Bocah Misterus..

“Hey kamu… mari sini!” sapa Luqman halus
kepada seorang bocah yang dengan sengaja
mengganggu anak kecil lain yang sedang
berpuasa.
Siapa nama kamu…? Dari mana kamu asalnya
…?” tanya Luqman sambil memegang lengan
bocah itu. Sebetulnya Luqman gemas, tapi ia
tahan kegemasan itu.
Meski ditanya dengan sopan, bocah itu malah
balik mendelik ke arah Luqman dan tertawa
menyeringai! Tawa bocah itu membuat Luqman
melepaskan pegangannya seketika.
Luqman merasa bocah ini bukanlah anak
sembarangan. Sungguh pun penampilannya
kayak bocah biasa. Kaos plus celana pendek.
Agak lusuh, tapi bersih.
Luqman melihat mata bocah itu. Mata itu
bukanlah mata anak manusia pada umumnya.
Ditambah lagi, sebelumnya Luqman tidak
pernah melihat bocah itu di kampungnya.
Luqman sudah bertanya ke sana kemari, adakah
tetangga kampungnya atau orang di
kampungnya yang mengenali siapa bocah itu
dan siapa keluarganya. Semua orang yang
ditanya Luqman menggelengkan kepala, tanda
tidak tahu….
Bocah itu menjadi pembicaraan di Kampung.
Sudah tiga hari ini ia mondar-mandir keliling
kampung. Ia menggoda anak-anak sebayanya,
menggoda anak-anak remaja di atasnya, dan
bahkan orang-orang tua. Hal ini, bagi orang
kampung, menyebalkan. Bagaimana tidak
menyebalkan, anak itu menggoda dengan
berjalan ke sana kemari sambil tangan
kanannya memegang roti isi daging yang
tampak coklat menyala. Sementara tangan
kirinya memegang es kelapa, lengkap dengan
tetesan air dan butiran-butiran es yang melekat
di plastik es tersebut. Pemandangan tersebut
menjadi pemandangan biasa bila orang-orang
kampung melihatnya bukan pada bulan puasa.
Pemandangan tak mengenakkan ini justru
terjadi di tengah hari pada bulan puasa! Bulan
ketika banyak orang sedang menahan lapar dan
haus. Es kelapa dan roti isi daging tentu saja
menggoda orang yang melihatnya.
Pemandangan itu semakin bertambah tidak
biasa karena kebetulan selama tiga hari
semenjak bocah itu ada, matahari di kampung
itu lebih terik dari biasanya.
Luqman mendapat laporan dari orang-orang di
kampungnya mengenai bocah itu. Mereka tidak
berani melarang bocah kecil itu menyodor-
nyodorkan dan memeragakan bagaimana dengan
nikmatnya ia mencicipi es kelapa dan roti isi
daging tersebut. Pernah ada yang melarangnya,
tapi kemudian orang itu dibuat mundur
ketakutan sekaligus keheranan. Setiap dilarang,
bocah itu akan mendengus dan matanya akan
memberikan kilatan yang menyeramkan.
Membuat mundur semua orang yang akan
melarangnya.
Luqman memutuskan menunggu kehadiran
bocah itu. Kata orang kampung, belakangan ini,
setiap ba’da dzuhur, anak itu akan muncul
secara misterius. Bocah itu akan muncul dengan
pakaian lusuh yang sama dengan hari-hari
kemarin dan akan muncul dengan es kelapa dan
roti isi daging yang sama juga!
Tidak lama Luqman menunggu, bocah itu hadir.
Benar, ia menari-nari sambil menyeruput es
kelapa itu. Tingkah bocah itu jelas mengundang
orang lain untuk menelan ludah tanda ingin
meminum es itu juga. Luqman menegurnya.
Cuma ya itu tadi. bukannya takut, bocah itu
malahan mendelik hebat dan melotot, seakan-
akan matanya akan keluar menelan Luqman.
“Bismillah…” Luqman kembali mencengkram
tangan bocah itu. Ia kuatkan mentalnya. Ia
berpikir kalau memang bocah itu adalah bocah
jadi-jadian, ia akan korek keterangan, apa
maksud semua ini. Kalau memang bocah itu
“bocah beneran” pun, ia akan mencari
keterangan, siapa dan dari mana sesungguhnya
bocah itu.
Mendengar ucapan bismillah itu, bocah tadi
mendadak menuruti tarikan tangan Luqman.
Luqman menyentakkan tangannya, menyeret
halus bocah itu, dan membawanya ke rumah.
Gerakan Luqman diikuti dengan tatapan mata
penuh tanya orang-orang yang melihatnya.
” Ada apa Tuan melarang saya meminum es
kelapa dan menyantap roti isi daging ini?
Bukannya ini adalah kepunyaan saya?” tanya
bocah itu sesampainya di rumah Luqman seakan
tahu bahwa Luqman akan bertanya tentang
kelakuannya. Matanya masih lekat menatap
tajam pada Luqman.
“Maaf ya… Itu karena kamu melakukannya di
bulan puasa…,” jawab Luqman dengan halus,
“apalagi kamu tahu, bukankah seharusnya kamu
juga berpuasa… Lalu bukannya ikut menahan
lapar dan haus, kamu malah menggoda orang
dengan tingkahmu itu….”
Sebenarnya Luqman masih mau mengeluarkan
unek-uneknya, mengomeli anak itu. Tapi
mendadak bocah itu berdiri sebelum Luqman
selesai. Ia menatap mata Luqman lebih tajam
lagi…
“Itu kan yang kalian lakukan juga kepada kami
semua! Bukankah kalian yang lebih sering
melakukan hal itu ketimbang saya…? Kalian
selalu mempertontonkan kemewahan ketika
kami hidup di bawah garis kemiskinan pada
sebelas bulan di luar bulan puasa?
Bukankah kalian yang lebih sering melupakan
kami yang kelaparan, dengan menimbun harta
sebanyak-banyaknya dan melupakan kami?
Bukankah kalian juga yang selalu tertawa dan
melupakan kami yang sedang menangis?
Bukankah kalian yang selalu berobat mahal bila
sedikit saja sakit menyerang, sementara kalian
mendiamkan kami yang mengeluh kesakitan
hingga kematian menjemput ajal?
Bukankah juga di bulan puasa ini hanya
pergeseran waktu saja kalian menahan rasa
lapar dan haus? Ketika beduk magrib bertalu,
ketika azan magrib terdengar, kalian kembali
pada kerakusan kalian…?”
Bocah itu terus saja berbicara tanpa memberi
Luqman kesempatan menyela. Tiba-tiba suara
bocah itu berubah. Kalau tadinya ia berkata
demikian tegas dan terdengar sangat
“menusuk”, kini ia bersuara lirih, mengiba.
“Ketahuilah Tuan…. Kami berpuasa tanpa ujung
… Kami senantiasa berpuasa meski bukan
waktunya bulan puasa lantaran memang tidak
ada makanan yang bisa kami makan. Sementara
Tuan berpuasa sepanjang siang saja.
Dan ketahuilah Tuan, justru Tuan dan orang-
orang di sekeliling Tuanlah yang menyakiti
perasaan kami dengan berpakaian yang luar
biasa mewahnya, lalu kalian sebut itu
menyambut Ramadhan dan Idul Fitri?
Bukankah kalian juga yang selalu berlebihan
dalam mempersiapkan makanan yang luar biasa
bervariasi banyaknya, segala rupa ada, lantas
kalian juga menyebutnya dengan istilah
menyambut Ramadhan dan Idul Fitri?
Tuan… sebelas bulan kalian semua tertawa di
saat kami menangis, bahkan pada bulan
Ramadhan pun hanya ada kepedulian yang
seadanya.
Tuan… kalianlah yang melupakan kami,
kalianlah yang menggoda kami, dua belas bulan
tanpa terkecuali termasuk di bulan Ramadhan
ini. Apa yang saya lakukan adalah yang kalian
lakukan juga terhadap orang-orang kecil seperti
kami…
Tuan, sadarkah Tuan akan ketidakabadian
harta? Lalu mengapakah masih saja mendekap
harta secara berlebih?
Tuan… sadarkah apa yang terjadi bila Tuan dan
orang-orang sekeliling Tuan tertawa sepanjang
masa dan melupakan kami yang semestinya
diingat?
Bahkan, berlebihannya Tuan dan orang-orang di
sekeliling Tuan bukan hanya pada penggunaan
harta, tapi juga pada dosa dan maksiat.
Tahukah Tuan, akan adanya azab Tuhan yang
menimpa…?
Tuan… jangan merasa aman lantaran kaki
masih menginjak bumi. Tuan… jangan merasa
perut ‘ kan kenyang esok lantaran tersimpan
pangan ‘tuk setahun. Tuan… jangan pernah
merasa matahari tidak akan pernah menyatu
dengan bumi, kelak…”
Wuah… entahlah apa yang ada di kepala dan
hati Luqman. Perkataan demi perkataan
meluncur deras dari mulut bocah kecil itu tanpa
bisa dihentikan. Dan hebatnya, semua yang
disampaikan bocah tersebut adalah benar
adanya!
Hal ini menambah keyakinan Luqman bahwa
bocah ini bukan bocah sembarangan.
Habis berkata pedas dan tajam seperti itu,
bocah itu pergi begitu saja meninggalkan
Luqman yang dibuatnya terbengong-bengong.
Di kejauhan, Luqman melihat bocah itu
menghilang bak ditelan bumi. Begitu sadar,
Luqman berlari mengejar ke luar rumah hingga
ke tepian jalan. Ia edarkan pandangan ke
seluruh sudut yang bisa dilihatnya, tapi ia tidak
menemukan bocah itu. Di tengah deru nafasnya
yang memburu, ia tanya semua orang di ujung
jalan, tapi semuanya menggeleng bingung.
Bahkan, orang-orang yang menunggu penasaran
di depan rumahnya pun mengaku tidak melihat
bocah itu keluar dari rumah Luqman! Bocah itu
benar-benar misterius! Dan sekarang ia malah
menghilang!
Luqman tidak mau main-main. Segera ia putar
langkah, kembali ke rumah. Ia ambil sajadah,
sujud dan bersyukur. Meski peristiwa tadi
irasional, tidak masuk akal, tapi ia mau
meyakini bagian yang masuk akal saja. Bahwa
betullah adanya apa yang dikatakan bocah
misterius tadi. Bocah tadi memberikan pelajaran
berharga, betapa kita sering melupakan orang
yang seharusnya kita ingat. Yaitu mereka yang
tidak berpakaian, mereka yang kelaparan, dan
mereka yang tidak memiliki penghidupan yang
layak.
Bocah tadi juga memberi Luqman pelajaran
bahwa seharusnya mereka yang sedang berada
di atas, yang sedang mendapatkan karunia
Allah, jangan sekali-kali menggoda orang kecil,
orang bawah, dengan berjalan membusungkan
dada dan mempertontonkan kemewahan yang
berlebihan.
Marilah berpikir tentang dampak sosial yang
akan terjadi bila kita terus menjejali tontonan
kemewahan, sementara yang melihatnya sedang
membungkuk menahan lapar.
Luqman berterima kasih kepada Allah yang
telah memberikannya hikmah yang luar biasa.
Luqman tidak mau menjadi bagian yang Allah
sebut mati mata hatinya.
Sekarang yang ada di pikirannya, mau dipercaya
atau tidak, ia akan mengabarkan kejadian yang
dialaminya bersama bocah itu sekaligus
menjelaskan hikmah kehadiran bocah tadi
kepada semua orang yang dikenalnya, kepada
sebanyak-banyaknya orang. Kejadian bersama
bocah tadi begitu berharga bagi siapa saja yang
menghendaki kebercahayaan hati.
Pertemuan itu menjadi pertemuan terakhir.
Sejak itu Luqman tidak pernah lagi melihatnya,
selama-lamanya. Luqman rindu kalimat-kalimat
pedas dan tudingan-tudingan yang memang
betul adanya. Luqman rindu kehadiran anak itu
agar ada seseorang yang berani menunjuk
hidungnya ketika ia salah.
Kami terus berpuasa meski bukan saatnya
berpuasa,
lantaran ketiadaan makanan,
lantaran ketiadaan minuman.
Kami berpuasa tanpa ujung!
kami lapar… sementara perut kalian kenyang.
Kami sakit, tanpa ada obat, apalagi biaya
berobat…
sementara kalian menambah terus kesakitan
kami
dengan mempertontonkan kemewahan dunia di
hadapan kami…
di depan mata kami….
yang sedang berpakaian kemiskinan.
Kami menangis, kami merintih,
adakah di antara kalian yang peduli …?

No comments:

Post a Comment

Melagkah pasti