Monday, August 15, 2016

Dari Grup fb DASI

Semua madzhab dalam islam berpegang kepada hadits. bukan sebagai semata mata kajian bagi para ahli hadits, melainkan mempunyai fungsi yang beragam, bagi ahli fiqih sebagai sumber nilai, demikian juga bagi para sufi

Literatur hadits yang dikembangkan para ahli hadits dipenuhi dengan problema pembawa hadits (rawi), kesinambungan mata rantai sampai kepada Rosulallah, dan perubahan dalam bunyi dan kata yang dipakai, mereka ingin menentukan apakah hadits itu shahih atau tidak, otentik atau dibuat buat, kuat atau lemah. Tak dipersoalkan apa implikasi hadits itu dalam amal kita sehari hari.
Soal seperti itu, dibicarakan ahli fiqh, mereka menentukan apakah hadits tertentu bisa dijadikan dasar pengambilan hukum, apakah pernyataan diatasnya berlaku khusus ataukah umum, apakah pernyataan perilaku Nabi didalamnya mempunyai konsekuensi hukum atau tidak. Urusan ahli fiqh adalah “menemukan” sunnah dalam hadits.
Masyarakat kenal betul pembahasan hadits dari para ahli hadits maupun fuqaha ketika pelajaran hadits disampaikan.biasanya orang akan mengambil salah satu diantaranya. Jarang sekali sekali ditemukan pembahasan hadits dari perspektif tasawuf.
Begitu langkanya, sehingga pakar hadits sering menuding tasawuf mengabaikan hadits atau menggunakan hadits hadits lemah, bahkan hadits ma udu’ (hadits palsu).
Ihya ulumuddin, kitab tasawuf yang paling banyak dibaca sering dituding sebagai tumpukan hadits lemah. Hilyat al Aulia, walaupun berisi biografi sahabat dan tabi’in, sama sekali tidak di perhitungkan bila dibanding dengan Tahdzib al Tahdzib, Who’s Who nya ahli hadits. 
Semua itu karena sufi tidak mempersoalkan keabsahan hadits, juga tidak implikasi hukumnya. Sufi melihat hadits sebagai petunjuk Jalan untuk mengenal Tuhan. melihat Nabi SAW tidak sebagai hakim, tetepi lebih sebagai pemimpin khafilah ruhani.karena itu Hadits Qudsi, yang berisi firman Tuhan seperti disampaikan Nabi, umumnya menjadi rujukan tasawuf.
Salah satu hadits Qudsi yang cukup terkenal adalah hadits Kanzun Makhfiy.

Tuhan bersabda : ”Aku adalah khazanah yang tersembunyi (Kanzun Makhfiy) Aku rindu untuk dikenal, karena itu aku ciptakan makhluk supaya aku di ketahui”. 
Kitab kitab tasawuf tak pernah luput mengutip hadits ini. Muhammad bin Ibrahim ahli hadits berkata :hadits ini diriwayatkan oleh para sufi. Jika anda menelitinya dengan melihat ayat Quran dibawah ini anda akan segera melihat bahwa hadits ini shahih :
”Allahlah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya. Agar kamu mengetahui bahwa Allah maha kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmunya benar benar meliputi segala sesuatu (QS. Al Thalaq 12)
Sufi sering menghubungkan hadis ini dengan penafsiran Ibnu Abbas atas Al Quran surat Adz Dzariyat 56. ”supaya mereka menyembah Ku” ditafsirkan Ibnu Abbas sebagai ”supaya mereka mengenal Aku”. 
Tujuan kita tidak lain untuk memperoleh pengetahuan tentang Dia, pengetahuan yang langsung. Pengetahuan yang hanya bisa dicapai lewat kecintaan yang tulus kepadanya. Pengetahuan rasional yang didasarkan tak kenal maka tak sayang.
Tradisi membahas hadits hadits sufistik dengan cerita berlangsung sepanjang zaman, Terserah anda bagaimana menafsirkan kisah berikut, yang dituturkan Jalaludin Rumi. Rumi sebetulnya menjelaskan kandungan hadits Kanzun Makhfiy dengan cara lain : 
Alkisah ada seorang gembala berjiwa merdeka, tak punya uang dan tidak berminat untuk mempunyai uang. yang ia miliki hanya jiwa yang bersih, yang bergetar dengan kecintaan kepada Tuhannya. Sepanjang hari ia menggembalakan ternaknya di padang dan lembah, tidak henti hentinya ia bernyanyi dan berbicara kepada tuhan kekasihnya :
”Tuhan tercinta dimana Engkau gerangan untuk menerima persembahan jiwaku ? Dimana Dikau yang akan menerima daku sebagai hambamu ? Tuhan, KepadaMu aku hidup dan bernafas, karena Rahmad Mu aku ada, ku ingin mengorbankan kambingku dihadapanMu.
Pada suatu hari Musa as melewati padang gembala ketika ia pergi ke kota. Ia melihat gembala itu duduk disamping ternaknya dengan kepala mendongak keatas, ia berbicara kepada Tuhan : Tuhan dimana Engkau supaya kujahit bajumu, ku rajud kasud Mu, dan ku bereskan ranjang Mu, dimana kah Engkau supaya kusisir rambutmu, dan ku cium kaki Mu, Dimana kah Engkau supaya kusemir sepatu Mu, dan ku bawakan susu untuk minuman Mu.
::
Musa mendekati gembala itu dan berkata: “dengan siapa engkau bicara ?” “dengan Dia yang menciptakan kita. Yang menciptakan siang dan malam, bumi dan langit”. Musa marah mendengar jawaban penggembala itu 
“ alangkah beraninya engkau bicara kepada Tuhan seperti itu ?” Ucapanmu itu kuffur. 
Kamu harus menyumpal mulutmu dengan kapas jika tidak bisa mengendalikan lidahmu. Atau paling tidak orang tidak mendengar kata katamu yang penuh dengan penghinaan. Yang meracuni udara. Kamu harus berhenti bicara seperti itu sekarang juga sebelum Tuhan menurunkan adzab karena dosamu.

Si pengembala yang bangkit setelah mengenal sang Nabi, berdiri menggigil. Dengan air mata yang mengalir deras, dia diam mendenarkan ucapan Musa selanjutnya :”apa kamu kira Tuhan seperti manusia yang memakai kaus dan sepatu ? seperti bocah kecil yang memerlukan susu ? tentu saja tidak. Tuhan Maha Sempurna, tak memerlukan siapapun. Dengan berkata seperti itu, kamu bukan hanya telah menghinakan dirimu sendiri tetepi juga makhluk Allah yang lain, kamu ingkar kepada agama dan menjadi musuh Tuhan, Pergilah dan mintalah ampun jika kamu masih sadar”.
Penggembala itu tidak mengerti mengapa ucapannya terhadap Tuhan dianggap kasar.tapi ia tahu, pasti Nabi Allah lebih tahu dari siapapun, Dengan menahan isakan, ia berkata kepada Musa ” engkau telah membakar jiwaku, sejak saat ini mulutku membisu ” sambil menarik nafas panjang ia berjalan meninggalkan ternaknya menuju sahara.
Dengan perasaan puas karena telah menunjuki jiwa yang tersesat, Musa melanjutkan perjalanan ke kota.
Tiba tiba ia mendengar Allah SWT menegurnya :
”mengapa kau halangi kami dengan hamba kami yang setia ? mengapa kau pisahkan pecinta dengan kekasihnya ? kuutus engkau untuk menyambung kasih sayang, bukan memutuskannya”.Kami tidak menciptakan dunia untuk keuntungan kami, Kami tidak memerlukan pujian, Pemujalah yang akan memperoleh faedah. Ingatlah bahwa dalam cinta kata kata hanyalah desahan nafas dan tidak ada artinya, kami tidak memperhatikan keindahan kalimat, Kami hanya melihat jauh kedalam hati. Disitulah kami tahu ketulusan makhluk Kami, walaupun kata katanya tidak berseni. Karena mereka yang terbakar cinta sudah membakar habis kata katanya.
Berkata suara langit selanjutnya, ”mereka yang terikat dengan pemilikan tidak sama dengan mereka yang terikat dalam cinta. Pecinta tidak memiliki agama selain kekasihnya sendiri” 
Dengan begitu Tuhan mengajarkan Musa rahasia cinta. Segera setelah menyadari kealpaan Musa bergegas mencari pengembala itu untuk meminta maaf, setelah hampir putus asa, Musa berhasil menemukan penggembala itu termenung dipinggir mata air dengan pakaian yang lusuh dan rambut yang kusut masai. Musa menunggu lama, akhirnya penggembala itu mengangkat kepala dan melihat sang Nabi.
”saya ingin menyapaikan pesan kepadamu, kata Musa ”Tuhan telah berfirman kepadaku, kau bebas berkata kepadaNya, dengan cara apapun yang kau sukai, dengan kata apapun yang kau pilih. Karena yang aku kira kekafiran ternyata keimanan yang menyelamatkan dunia”.
Penggembala itu menjawab sederhana ”Aku telah melewati tingkat kalimat dan kata, hatiku sekarang telah disinari dengan kehadiran Nya. Tidak dapat aku jelaskan kepadamu keadaanku kini. Tak ada kata kata yang dapat melukiskan Nya”.
Ia bangkit pergi ke sahara, diikuti tatapan Musa.

No comments:

Post a Comment

Melagkah pasti