Friday, August 12, 2016

Sayyid Husein Muthahar

Sayyid Husein Al-Muthohar.

Penyelamat Bendera Pusaka
dan Pencipta Lagu 17 Agustus.
(Dulu waktu SD, ane cuma tau
nama H Mutahar doang.)

Bendera pusaka untuk pertama kali berkibar pada Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945,
di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, begitulah secara resmi bendera kebangsaan merah putih dikibarkan.

Pada tanggal 4 Januari 1946,
karena aksi teror yang dilakukan Belanda semakin meningkat,
presiden dan wakil presiden Republik Indonesia dengan menggunakan
kereta api meninggalkan Jakarta menuju Yogyakarta.
Bendera pusaka dibawa ke Yogyakarta dan dimasukkan dalam koper pribadi Soekarno.
Selanjutnya, ibukota dipindahkan
ke Yogyakarta.

Tanggal 19 Desember 1948,
Belanda melancarkan agresinya
yang kedua.
Presiden, wakil presiden
dan beberapa pejabat tinggi Indonesia akhirnya ditawan Belanda.
Namun, pada saat-saat genting dimana Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta dikepung oleh Belanda, Soe­karno sempat memanggil salah satu ajudannya, Mayor M. Husein Mutahar. Sang ajudan lalu ditugaskan untuk untuk menyelamatkan bendera pusaka. Penyelamatan bendera pusaka ini merupakan salah satu bagian “heroik” dari sejarah tetap berkibarnya Sang Merah putih di persada bumi Indonesia. Saat itu, Soe­karno berucap kepada Mutahar:

“Apa yang terjadi terhadap diriku,
aku sendiri tidak tahu.
Dengan ini aku memberikan tugas kepadamu pribadi.
Dalam keadaan apapun juga,
aku memerintahkan kepadamu
untuk menjaga bendera kita
dengan nyawamu.
Ini tidak boleh jatuh ke tangan musuh. Di satu waktu, jika Tuhan mengizinkannya engkau mengembalikannya kepadaku sendiri dan tidak kepada siapa pun kecuali kepada orang yang menggantikanku sekiranya umurku pendek.
Andaikata engkau gugur dalam menyelamatkan bendera ini, percayakanlah tugasmu kepada orang lain dan dia harus menyerahkannya
ke tanganku sendiri sebagaimana engkau mengerjakannya.”

Sementara di sekeliling mereka bom berjatuhan dan tentara Belanda terus mengalir melalui setiap jalanan kota, Mutahar terdiam.
Ia memejamkan mataya dan berdoa, Tanggung jawabnya terasa
sungguh berat.
Akhirnya, ia berhasil memecahkan kesulitan dengan mencabut benang jahitan yang menyatukan kedua
bagian merah dan putih bendera itu.

Dengan bantuan Ibu Perna Dinata, kedua carik kain merah dan putih itu berhasil dipisahkan.
Oleh Mutahar, kain merah dan putih itu lalu diselipkan di dasar dua tas
terpisah miliknya.
Seluruh pakaian dan kelengkapan miliknya dijejalkan di atas kain merah dan putih itu.
Ia hanya bisa pasrah, dan menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Yang ada dalam pemikiran Mutahar saat itu hanyalah satu: bagaimana
agar pihak Belanda tidak mengenali bendera merah-putih itu sebagai bendera, tapi ha­nya kain biasa, sehingga tidak melakukan penyitaan. Di mata seluruh bangsa Indonesia, bendera itu adalah sebuah “prasasti” yang mesti diselamatkan dan tidak boleh hilang dari jejak sejarah.

Benar, tak lama kemudian Presiden Soekarno ditangkap oleh Belanda
dan diasingkan ke Prapat (kota kecil
di pinggir danau Toba) sebelum dipindahkan ke Muntok, Bangka, sedangkan wakil presi­den Mohammad Hatta langsung dibawa ke Bangka. Mutahar dan beberapa staf kepresidenan juga ditangkap dan diangkut dengan pesawat Dakota. Ternyata mereka dibawa ke Semarang dan ditahan di sana.
Pada saat menjadi tahanan kota, Mutahar berhasil melarikan diri
dengan naik kapal laut menuju Jakarta.

Di Jakarta Mutahar menginap di rumah Perdana Menteri Sutan Syahrir,
yang sebelumnya tidak ikut
mengungsi ke Yogyakarta.
Beberapa hari kemudian, ia kost di Jalan Pegangsaan Timur 43, di rumah Bapak R. Said Soekanto Tjokrodiatmodjo (Kepala Kepolisian RI yang pertama)

Selama di Jakarta Mutahar selalu mencari informasi dan cara,
bagaimana bisa segera
menyerahkan bendera pusa­ka
kepada presiden Soekarno.
Pada suatu pagi sekitar pertengahan bulan Juni 1948, akhirnya ia menerima pemberitahuan dari Sudjono
yang tinggal di Oranje Boulevard (sekarang Jalan Diponegoro) Jakarta. Pemberitahuan itu menyebutkan bahwa ada surat dari Presiden Soekarno yang ditujukan kepadanya.

Sore harinya, surat itu diambil Mutahar dan ternyata memang benar berasal dari Soekarno pribadi.
Isinya sebuah perintah agar ia segera menyerahkan kembali bendera pusaka yang dibawanya dari Yogya
kepada Sudjono, agar dapat diba­wa
ke Bangka.
Bung Karno sengaja tidak memerintahkan Mutahar sendiri datang ke Bang­ka dan menyerahkan bendera pusaka itu langsung kepadanya.
Dengan cara yang taktis,
ia menggunakan Soedjono sebagai perantara untuk menjaga kerahasiaan perjalanan bendera pusaka
dari Jakarta ke Bangka.

Itu tak lain karena dalam pengasingan, Bung Karno hanya boleh dikunjungi oleh anggota delegasi Republik Indonesia dalam perundingan dengan Belanda di bawah pengawasan UNCI (United Na­tions Committee for Indonesia).
Dan Sudjono adalah salah satu
anggota delegasi itu,
sedangkan Mutahar bukan.

Setelah mengetahui tanggal keberangkatan Soedjono ke Bangka, Mutahar berupaya menyatukan kembali kedua helai kain merah dan putih dengan meminjam mesin jahit tangan milik seorang istri dokter
yang ia sendiri lupa namanya.
Bendera pusaka yang tadinya terpisah dijahitnya persis mengikuti lubang bekas jahitan tangan Ibu Fatmawati. Tetapi sayang, meski dilakukan
dengan hati-hati, tak urung terjadi
juga kesalahan jahit sekitar 2 cm
dari ujungnya.

Dengan dibungkus kertas koran
agar tidak mencurigakan,
selanjutnya bendera pusaka diberikan Mutahar kepada Soedjono untuk diserahkan sendiri kepada Bung Karno. Hal ini sesuai dengan perjanjian
Bung Karno dengan Mutahar
sewaktu di Yogyakarta.
Dengan diserahkannya bendera pusaka kepada orang yang diperintahkan
Bung Karno maka selesailah tugas penyelamatan yang dilakukan
Husein Mutahar.
Sejak itu, sang ajudan tidak lagi menangani masalah pengibaran bendera pusaka.

Tanggal 6 Juli 1949, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta kembali ke Yogyakarta dari Bangka dengan membawa serta bendera pusaka. Tanggal 17 Agustus 1949, bendera pusaka dikibarkan lagi
di halaman Istana Presiden
Gedung Agung Yogyakarta.

Naskah pengakuan kedaulatan
lndo­nesia ditandatangani
27 Desember 1949 dan sehari
setelah itu Soekarno kembali ke Jakarta untuk memangku jabatan Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS). Setelah empat tahun ditinggalkan, Jakarta pun kembali menjadi ibukota Republik Indonesia.
Hari itu juga, bendera pusaka
dibawa kembali ke Jakarta.

Untuk pertama kalinya setelah
Prok­lamasi bendera pusaka kembali dikibarkan di Jakarta pada peringatan Detik-detik Proklamasi
17 Agustus 1950.

Selanjutnya Husein Mutahar terkait dalam mendirikan dan membina Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka), tim yang beranggotakan pelajar dari berbagai penjuru Indonesia yang bertugas mengibarkan Bendera Pusaka pada setiap upacara
peringatan Hari Kemerdekaan RI.

Sayyid Husein Al-Muthohar
Tokoh Pandu dan Pencipta Lagu.

Husein Mutahar lahir di Semarang, Jawa Tengah pada tanggal
5 Agustus 1916.
Perjalanan pendidikan formalnya dimulai dari ELS (Europese Lagere School atau sama dengan SD Eropa selama 7 tahun) , kemudian dilanjutkan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Ondewwijs atau sama dengan SMP selama 3 tahun) dan dilanjutkan
ke AMS (Algemeen Midelbare School atau sama dengan SMA selama 3 tahun) Jurusan Sastra Timur khususnya
Bahasa Melayu, di Yogyakarta. kemudian beliau melanjutkan
ke Universitas Gajah Mada
dengan mengambil Jurusan Hukum
dan Sastra Timur dengan khusus mempelajari Bahasa jawa Kuno
namun perkuliahan nya hanya 2 tahun karena selanjutnya drop out (DO) karena harus ikut berjuang.

Mutahar terlibat Pramuka sejak awal lembaga kepanduan berdiri.
Beliau adalah salah seorang tokoh utama Pandu Rakyat Indonesia, gerakan kepanduan independen
yang berhaluan nasionalis.
Ia juga dikenal anti-komunis.
Ketika seluruh gerakan kepanduan dilebur menjadi Gerakan Pramuka, Mutahar juga menjadi tokoh
di dalamnya.

Dalam kehidupan ber-Organisasi pengalaman beliau adalah sbb :

Ikut mendirikan dan bergerak
sebagai pemimpin Pandu
serta kemudian menjadi anggota Kwartir Besar Organisasi Persatuan
dan Kesatuan Kepanduan Nasional Indonesia ”Pandu Rakyat Indonesia”, 28-12-1945 s.d. 20-5-1961
Ikut mendirikan dan bergerak
sebagai Pembina Pramuka,
duduk sebagai anggota Kwartir Nasional Gerakan Pramuka dan Andalan Nasional Urusan Latihan, 1961-1969
Sekretaris Jenderal Majelis Pembimbing Nasional Gerakan Pramuka, 1973 -1978, dan anggota biasa, 1978-2004.

Lagu Syukur merupakan salah satu judul lagu paling terkenal
yang dibuatnya pada tanggal
7 September 1944 setelah
menyaksikan banyak warga Semarang, kota kelahirannya, bisa bertahan hidup dengan hanya memakan bekicot.
Pak Mut, demikian ia akrab disapa,
juga menciptakan mars
yang menggelegak.
Karyanya yang terkenal adalah
Hari Merdeka.
Beliau pun banyak menulis lagu-lagu Pramuka, salah satunya lagu
yang sering kita nyanyikan bersama, yakni “ Hymne Satya Darma Pramuka”.

Husein Mutahar Mantan duta besar Italia ini, kemudian meninggal dunia pada tanggal 9 Juni 2004
pada usia 87 tahun.
Walaupun beliau berhak dimakamkan di Makam Taman Pahlawan Kalibata karena memiliki Tanda Kehormatan Negara Bintang Mahaputera
atas jasanya menyelamatkan Bendera Pusaka Merah Putih dan juga memiliki Bintang Gerilya atas jasanya ikut berperang gerilya pada tahun
1948 – 1949 tetapi Beliau tidak mau
dan kemudian dimakamkan
di Taman Pemakaman Umum
Jeruk Purut, Jakarta Selatan.

In MEMORIAM
Sayyid Husein Al-Muthohar.

MENDUNG menggayut,
membuat langit Jakarta kelabu
Kamis pagi (10/6) lalu.
Sesekali gerimis merenai.
Di sebuah ruas jalan sempit, di sebelah Pasar Cipete, beberapa mobil silih berganti berhenti di depan rumah duka. Mantan Mensesneg Moerdiono
telah hadir malam sebelumnya.
Pagi itu tampak Menlu Hassan Wirajuda, mantan Hakim Agung Benjamin Mangkoedilaga,
dan beberapa mantan pejabat lain seperti Fuad Hassan, Kusnadi Hardjasumantri, Mastini Hardjoprakoso dan ratusan kerabat dan sahabat.

Banyak di antaranya memakai
seragam Pramuka dan Paskibraka. Alam bagai sedang ikut berkabung.
Di ruang tamu rumah sederhana itu, terbujur layon renta seorang laki-laki yang sedang menerima penghormatan terakhir dari orang-orang
yang mengagumi dan mencintainya. Tidak sedikit yang datang
dengan berlinang air mata.
Husein Mutahar, pencipta lagu
Syukur dan puluhan lagu lain, penyelamat Bendera Pusaka,
tokoh kepanduan dan pendiri
Gerakan Pramuka, mantan pejabat tinggi negara, mantan Duta Besar RI
di Takhta Suci Vatikan, penerima anugerah Bintang Gerilya dan Bintang Mahaputra, meninggal dunia
Rabu petang (9/6) pukul 16.30,
dua bulan menjelang ulang tahunnya yang ke-88.
Di dekat jenazah diletakkan sebuah
foto berwarna berukuran besar. Mutahar dalam seragam Pramuka, lengkap dengan tanda jasa Bintang Gerilya dan Bintang Mahaputra,
serta tanda kemahiran Pramuka sebagai pembina bertaraf internasional. Foto itu baru diambil dua minggu
yang lalu oleh cucunya,
dengan kamera digital pinjaman.
Foto itu sendiri merupakan firasat besar.
Mutahar tidak pernah suka dipotret.
Ia selalu mencari alasan untuk pergi setiap kali melihat orang bersiap membuat potret.
Tiba-tiba ia ingin dipotret
dengan berbagai atribut.
Sebetulnya ia juga ingin dipotret dengan jas hitam, tetapi jasnya sudah sangat kebesaran sehingga kurang pantas dikenakan.
Mutahar terlihat sangat kurus
dalam foto itu.
Kedua bola matanya sedang melihat
ke atas, seolah-olah ia sedang menyapa Al Kholik yang ada di sana. Sejak rumah kediamannya di Jalan Prapanca Buntu terbakar habis sekitar lima tahun silam, ia tampak seperti “mengundurkan diri” dari pergaulan ramai.
Ia bahkan menolak kembali ke rumah yang telah dibangun kembali
oleh anak-anak pandunya.
Ia memilih tinggal di rumah anak semangnya yang sederhana.
Ia pun mulai tampak semakin kurus karena nafsu makannya pun
menurun drastis.
Beberapa bulan yang lalu, ia terjatuh ketika hendak bangkit dari kursi. Sebetulnya tak ada tulang yang patah atau retak. Tidak juga keseleo.
Tetapi, sejak itu ia menjadi sulit berjalan.
Ia lebih banyak berbaring di tempat tidur.
Selama sebulan terakhir ia semakin enggan makan.
Praktis hanya susu dan madu saja
yang membuatnya bertahan hidup dalam hari-hari terakhirnya.
Ia bahkan seperti men-skenario-kan prosesi pemakamannya.

Pada 20 Februari 2002-
sebagai seorang pengagum simbolisme,
ia betul-betul memanfaatkan
“getaran” angka 20-02-2002 itu Mutahar pergi ke notaris
untuk mendiktekan wasiatnya.
Wasiat tertulis itu sebetulnya persis seperti yang pernah saya dengar langsung dari mulutnya
pada akhir tahun 1970-an.
Ia ingin dikebumikan sebagai rakyat biasa dalam tata cara Islam.

Berdasar surat wasiat itu, Indradjit Soebardjo dan Sangkot Marzuki
dua anak didik Mutahar di kepanduan dulu yang langsung datang ke rumah duka, segera memutuskan untuk memakamkan jenazah di Taman Pemakaman Umum (TPU) Jeruk Purut tanpa upacara kenegaraan,
tradisi kepanduan,
ataupun ritus lainnya.

Setelah sholat zuhur, di bawah gerimis, keranda yang membawa layon
Mutahar dibawa keluar dan diangkut dengan mobil jenazah
ke TPU Jeruk Purut.
Dua bus Kopaja yang sederhana
bukan Big Bird ber-AC- mengangkut anggota keluarganya.
Diiring sekitar 50 mobil pelayat lainnya. Upacara pemakaman berlangsung khidmat dan sederhana.
Persis seperti yang diingini Kak Mut. Gerimis merenai.
Air mata berderai.
Tanah kembali kepada tanah..! Mahaputra berjasa Husein Mutahar seharusnya berhak dimakamkan
di TMP Kalibata dengan upacara kenegaraan.

Lahir di Semarang pada 5 Agustus 1916, sebagai pemuda pejuang Mutahar ikut dalam “Pertempuran Lima Hari”
yang heroik di Semarang.
Ketika Pemerintah Bung Karno hijrah
ke Yogyakarta, ia diajak Laksamana Muda Mohammad Nazir yang ketika itu menjadi Panglima Angkatan Laut. Sebagai sekretaris panglima, ia diberi pangkat kapten angkatan laut.
Ketika mendampingi Nazir itulah
Bung Karno mengingat Mutahar sebagai “sopir” yang mengemudikan mobilnya di Semarang, beberapa hari setelah “Pertempuran Lima Hari”. Mutahar kemudian “diminta” oleh Bung Karno dari Nazir untuk dijadikan ajudan, dengan pangkat mayor angkatan darat. Sesaat sebelum Bung Karno dibuang
ke Sumatera, setelah serangan Belanda yang melumpuhkan Yogyakarta
pada 1948, Mutahar diserahi bendera merah putih yang pertama kali dikibarkan pada proklamasi kemerdekaan di Pegangsaan Timur.

Bendera itu aslinya dijahit
oleh Fatmawati, istri Bung Karno, ibunda Presiden RI Megawati.
Mutahar menyelamatkan bendera itu, yang kemudian dikenal sebagai Bendera Pusaka.
Nama Mutahar harus dicatat dalam sejarah sebagai orang yang berjasa dalam gerakan pendidikan kepanduan.

Pada awal 1960-an, Partai Komunis Indonesia berusaha menyetir kepanduan menjadi mirip pionir
di Uni Soviet.
“Berkonspirasi” dengan PM Djuanda,
ia kemudian berhasil membelokkannya jadi kompromi yang lebih netral, Gerakan Pramuka.
Ia biasa dipanggil dengan sebutan Kak Mut, sesuai dengan tradisi kepanduan. Ia masih akrab dengan bekas anak didiknya dan sering menyelenggarakan reuni bersama mereka.
Karena Kak Mut tidak menikah seumur hidupnya, semua anak pandu Kak Mut adalah anaknya.
Otomatis, anak-anak mereka semua menjadi cucu-cucu Eyang Mutahar. Mutahar juga mempunyai sembilan orang anak semang-istilah yang lebih disukainya ketimbang anak angkat
atau anak asuh.
Pencipta lagu “Syukur” Mutahar penggemar berat musik klasik.
Ia hampir selalu hadir pada setiap pergelaran musik di Jakarta.
Karena itu pulalah Addie MS dari Twilite Orchestra tak pernah lupa mengundang Kak Mut
ke pementasannya.
Sebagai pencipta lagu, ia bisa dibilang spesialis himne.
Karya puncaknya adalah Syukur
yang hampir setiap malam kita
dengar sebagai lagu penutup TVRI.

Syukur, menurutnya, diciptakan
pada 1944, adalah sebuah puji syukur yang dipersiapkannya untuk kemerdekaan RI yang ketika itu diduganya sudah hampir tercapai.
Lagu Hari Merdeka yang sering diperdengarkan pada aubade HUT Proklamasi, menurut pengakuannya sendiri, diciptakan di dalam toilet
Hotel Garuda Yogyakarta.
Ketika itu ia sekamar dengan Hugeng kemudian menjadi Kepala Polri
yang sama-sama mengawal
Bung Karno.
Hugeng kebingungan mencarikan kertas dan pulpen karena Mutahar tergopoh- gopoh hendak menuangkan gagasannya ke atas kertas.
Lagu-lagu ciptaan Husein Mutahar hampir mencapai seratus.
Karya-karya terakhirnya, antara lain, adalah Dirgahayu Indonesia (diterima sebagai lagu resmi peringatan 50 tahun Indonesia Merdeka), Himne Universitas Indonesia, dan beberapa himne
yang lahir dari keprihatinannya
atas kehancuran alam Indonesia.
Ia tampak amat terharu ketika ciptaannya berjudul Syukur dan Hari Merdeka digarap ulang Addie MS dengan orkes filharmoni di Australia.

Matanya terkatup, beberapa tetes air mata meleleh di pipinya yang renta, beberapa tahun silam ketika Addie MS memperdengarkan rekaman itu
di rumahnya.
Kak Mut sengaja membeli tape recorder baru untuk mendengarkan karya megah itu.
Perhatiannya pada dunia seni suara sangat tinggi.
Ia tak segan merogoh uang dari koceknya sendiri untuk keperluan itu. Belasan tahun yang silam, contohnya,
ia pernah menunjukkan makalahnya tentang hubungan seni suara
dengan Nuzulul Quran.
Ia menangis ketika membuat sebuah “tesis” musikal tentang Tuhan,
dengan menampilkan berbagai interpretasi tentang Tuhan menurut berbagai komponis dan penyanyi.
Ia juga suka membina anak-anak muda yang berbakat seni.
Ia hampir tak pernah absen menghadiri pergelaran orkestra remaja
Perguruan Cikini.
Pada pergelaran mereka Agustus mendatang, pastilah absennya
Om Mutahar akan terasa sangat mencekam.
Ya, kita semua memang harus menerima realita ini.
Kak Mut telah tiada.
Ia telah pulang ke Timur Abadi
sebuah kata sandi yang suka
dipakainya untuk menyebut
Hadirat Alloh.

Selamat jalan, Kak Mut.
Alloh Sang Maha Pencipta
telah membebaskanmu
dari segala derita dunia.
Hati ikhlas kami penuh.
Pergilah dalam damai..!

No comments:

Post a Comment

Melagkah pasti