Friday, July 1, 2016

TUBUH MEREKAM

TUBUH MEREKAM.
(Yasin: 65) dinyatakan, di akhirat kelak anggota tubuh kita
akan memberikan kesaksian atas apa yang diperbuatnya
selama di dunia.
Tangan, kaki, dan anggota badan lain akan berbicara
sehingga mulut tidak bisa membantah dan berbohong.
Pendeknya dalam pengadilan di akhirat kelak
kita tak akan mampu membohongi diri sendiri
dan malaikat karena anggota tubuh akan menjadi saksi
yang bisa memberatkan atau meringankan, tergantung
pada perbuatan yang pernah dilakukan di dunia.
Hakim yang kita hadapi di akhirat kelak bukanlah hakim
yang dapat disuap dengan uang sebagaimana
yang terjadi di dunia.
Tak akan ada yang mampu menolong diri kita kecuali rekaman iman
dan amal kebajikan kita sendiri.
Apa yang disampaikan Al Qur’an di atas secara ilmiah
sangat mudah untuk dibuktikan
bahwa tubuh itu merekam apa yang biasa kita lakukan dan pikirkan.
Contoh yang paling sederhana adalah rekaman pengalaman naik sepeda.
Mungkin ada di antara kita sudah puluhan tahun tidak pernah naik sepeda.
Tetapi karena dahulunya pernah dan biasa naik sepeda,
andaikan disodori sepeda pasti bisa mengendarainya.
Mengapa ?
Karena tubuh kita, terutama kaki dan tangan,memiliki rekaman
bagaimana mengendarai sepeda,sehingga rekaman tadi
muncul lagi ketika disuruh naik sepeda.
Namun, mereka yang dahulunya tidak pernah,
yang berarti tidak memiliki rekaman pengalaman,
pasti perlu waktu lama dan mulai dari nol untuk belajar naik sepeda.
Contoh ini dapat diperbanyak lagi, misalnya apa yang direkam
oleh lidah tentang rasa makanan.
Tanpa diberi tahu apa namanya, begitu melihat, mencium baunya,
dan merasakan rasa makanan yang dahulu suka
kita makan waktu kecil sudah langsung tahu
apa nama makanan itu dan bagaimana rasanya.
Bahkan andaikan makanan itu disajikan dalam keadaan gelap,
kita akan bisa mengenalinya.
Bagaimana bisa ?
Karena lidah kita memiliki rekaman akan berbagai rasa makanan.
Dalam sebuah penelitian kajian neurologi dibuktikan
bahwa selsel otak ternyata menyimpan berbagai informasi
dan pengalaman yang terekam sejak kecil
yang umumnya sudah kita lupakan.
Ketika dilakukan eksperimen dengan pembedahan otak,
tetapi yang bersangkutan tetap sadar,
ternyata ketika dirangsang sel-sel saraf tertentu mampu
menceritakan berbagai pengalaman sewaktu kecil.
Eksperimen ini memperkuat teori bahwa semua yang pernah
kita ketahui dan pikirkan terekam dalam jaringan saraf otak.
Jadi, apa yang dikatakan Al Qur’an tadi semakin diperkuat
oleh eksperimen ilmiah.
Teori bahwa tubuh merekam saya amati dan buktikan sendiri
ketika ayah saya sakit,
dirawat di rumah sakit selama satu minggu.
Saya mendapatkan pelajaran yang sangat berharga
dari peristiwa ini.
Betapa tidak ?
Bayangkan, ketika dia sembuh dan telah kembali ke rumah,
saya bertanya kepadanya, “Bagaimana pengalaman Bapak
ketika di rumah sakit?”
Dia jawab, “Saya lupa.” Sungguh ini hal yang aneh.
Dia bilang sudah lupa dengan apa yang terjadi di rumah sakit.
Jadi, secara fisik sebenarnya dia memang sakit,
tetapi secara mental dia sama sekali
tidak merasa dirinya sakit.
Yang sangat mengesankan, saat dirawat di rumah sakit,
setiap kali datang waktu sholat,
dia selalu minta air untuk wudhu atau minta diberi kesempatan untuk tayamum karena mau sholat.
Rupanya tubuh dan mentalnya merekam ritme jadwal sholat sehingga setiap datang waktu sholat,
jam badannya (biological clock) memberi isyarat secara refleks
dan otomatis bergegas
untuk mendirikan sholat karena ayah saya ketika sehat
selalu sholat tepat waktu lima kali sehari.
Jadi, ketika sakit, jam badan itu bekerja layaknya weaker
yang memberi isyarat
karena di dalamnya memiliki rekaman habit.
Contoh lain yang dengan mudah kita saksikan
dalam peristiwa-peristiwa sehari-hari
adalah pengalaman sopir bus malam lintas kota.
Dulu, waktu tol Cipularang belum dibuat, sebagian besar
orang menggunakan jalur Puncak
untuk pergi dari Jakarta ke Bandung.
Pernahkah kita membayangkan bagaimana hebatnya
para sopir bus jurusan Jakarta– Bandung itu ketika melawati Ciawi,
Megamendung, Cisarua, Puncak Pass, Cipanas, Cianjur,
dan Bandung ?
Sopir-sopir bus itu dengan mudahnya menyusuri jalan berkelok yang naik-turun.
Mereka sangat lihai.
Mereka hafal betul kapan dan di mana harus berbelok.
Mereka tahu kapan dan di mana akan ada tanjakan dan tikungan,
bahkan mereka tahu di mana akan ada banyak kerumunan orang
di jalan.
Mengapa mereka bisa sehebat itu ?
Mengapa sopir itu bisa secara refleks mengendarai
dan hafal situasi jalur Jakarta–Bandung ?
Jawabannya kita pasti tahu: itu karena kebiasaan,
mereka telah terbiasa setiap hari melewati rute itu sehingga anggota tubuhnya merekam situasi dan keadaan yang dilaluinya.
Begitu juga orang yang dulu pernah mahir bermain ping-pong
atau bermain badminton,
ketika dia sudah tua, meskipun sudah meninggalkan kebiasaan itu selama puluhan tahun,
pasti dia akan sanggup memainkannya kembali.
Mungkin gerakan dan tingkat kelihaiannya berbeda
dengan masa mudanya,
tetapi kemampuan dan teknik dasar bermainnya tentu akan terlihat.
Jadi, kebiasaan masa lalu tak akan mudah terlupakan
karena tubuh ini merekam secara kuat
apa yang pernah menjadi kebiasaan dan kesukaan atau hobi.
Cerita di atas menyimpan pesan yang sangat dalam
bahwa hendaknya kita membiasakan berpikir,
berbicara, dan berbuat yang baik-baik,
agar ketika sakit atau menjelang ajal nanti,
rekaman kebaikan itu yang akan menemani
dan mengawal kita menempuh perjalanan lebih lanjut.
Coba renungkan, ada kejadian pada orangtua
yang menjelang ajal, tetapi sangat-angat sulit
untuk mengucapkan dzikir seperti tahlil, tahmid, takbir.
Hal ini disebabkan di masa hidupnya bacaan-bacaan dzikir itu sangat asing, hati dan lidahnya tidak memiliki rekaman dzikir.
Dia tidak mempunyai memori yang dapat membangkitkan kesadarannya untuk mengucapkan
kalimah thoyyibah itu menjelang ajalnya.
Sebaliknya,sering kali saya menyaksikan bagaimana mudahnya seseorang mengucapkan dzikir atau membaca asmaul husna
pada saat menjelang kematiannya.
Ini lantaran dia telah terbiasa untuk mengucapkan kalimat itu
di masa hidupnya.
Dia telah membiasakan diri untuk membasahi lidahnya
dengan kalimat dzikir.
Siang malam dia berdzikir. Sebelum
dan sesudah sholat dia berdzikir.
Ketika tersandung batu dia beristighfar,
ketika mendengar petir dia bertasbih.
Praktis, kalimat dzikir telah menjadi bagian dari kebiasaannya sehari-hari sehingga ketika ajal datang menjemput dia
dengan mudah mengucapkan kalimat dzikir
untuk menutup usianya.
Karena itu, bagi orang yang mempunyai kebiasaan buruk
yang selalu mengucapkan
kata-kata kotor di masa hidupnya, bisa jadi menjelang sakaratul maut yang akan diingatnya hanya kata-kata kotor.
Orang yang biasa mengejek, mengomel, atau mencemooh orang lain akan tertutup hatinya untuk mengucapkan kata-kata yang baik, sebab rekaman atau memori hidupnya
selalu dipenuhi dengan kebiasaan buruk itu.
Saya sering kali mendapatkan kisah-kisah nyata
yang menceritakan hal itu.
Semoga kisah-kisah di atas dapat menjadi pelajaran berharga untuk menghadapi kematian
sehingga kita menjumpai Izro’il dengan senyum persahabatan.
Mari kita membiasakan diri untuk melafalkan kata-kata
yang baik,selalu berdzikir dan mengingat Alloh SWT,
membiasakan diri mengerjakan sholat, berpuasa dan bersedekah,
serta berbuat baik kepada sesama,sebab semua itu
akan terekam dalam memori kita sepanjang hayat, baik saat hidup di dunia, menjelang sakaratul maut, atau setelah kematian kita.
Husnul khotimah (pengujung yang baik) di masa kematian kita itu tidak bisa diraih dengan tiba-tiba.
Ia tak bisa dipaksa dan dibimbing oleh orang lain dengan mudah karena diri kitalah yang menentukan apakah kita sanggup mendapatkan akhir yang baik atau tidak.
Husnul khotimah merupakan akumulasi dari perjalanan panjang seseorang di masa hidupnya.
Rekam jejak kehidupan seseorang menentukan hasil akhir
dari perjalanan hidupnya di dunia.
#copasmania

No comments:

Post a Comment

Melagkah pasti